Budaya Memberi Tip,
Korupsi atau Apresiasi?
Chriscahyanti Sofi Yustisia
“No
Tipping” tulisan itu sering terlihat di balik seragam petugas parkir ketika
kita memarkir mobil di beberapa pusat perbelanjaan di kota besar. Namun hal
berbeda kita temukan ketika selepas makan di restauran, ada beberapa uang receh
yang sengaja ditinggalkan di meja untuk para pramusaji yang bekerja disana. Ada
pula fenomena tipping lainnya dimana
kita naik taxi, khususnya di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Total
yang kita bayarkan terkadang lebih besar dari angka yang tertera pada argo taxi
tersebut. Bahkan terkadang ada pula supir taxi yang sengaja berbohong untuk
tidak memberi uang kembalian kepada penumpang. Contoh lainnya juga fenomena delivery food di salah satu restauran di
Jakarta Pusat. Pengantar makanan sudah disiapkan kembali dari total pesanan,
namun sungguh mengejutkan karena pengantar makanan tersebut hanya memberi
separuh dari total yang harusnya di berikan kepada pemesan. Yang paling sering
ditemui adalah budaya tipping ketika kita masuk ke hotel dan dibantu oleh
petugas hotel, entah itu bell boy
atau buttler. Perlukah kita memberi
tip kepada mereka?
Budaya tip atau memberi bonus kepada
petugas yang telah melayani kita paling banyak di temui di Amerika Serikat. Itu
merupakan hal yang lumrah di lakukan bahkan mungkin sudah menjadi “budaya”
mereka untuk memberikan tip. Asal mula kebiasaan ini berasal sejak Perang Sipil
di Amerika, dibawa oleh para kaum bangsawan Inggris yang datang. It looks so demeaning and classist. Era
aristokrat dimana seorang pelayan tidak bisa menjadi seorang gentleman, menolak pemberian dari
majikannya. Saat itu kelas masih muncul di sistem sosial masyarakat. Namun
ketika jaman mulai berubah, ketika aristokrasi tidak lagi mendominasi
masyarakat dan beralih ke masyarakat yang egaliter dan demokrasi yang
berkembang, pemberian tip tidak lagi dipandang sebagai bentuk apresiasi, bisa
jadi merendahkan atau bahkan di manfaatkan dan menjadi awal mula korupsi.
Di Amerika Sendiri, terdapat
standarisasi tip yang di terapkan oleh masyarakat, berkisar 10%-15% dari total
bill. Jika dibawah itu bisa dianggap merendahkan mereka. William Scott’s dalam
bukunya The Itching Palm tahun 1916 menyebutkan bahwa di era demokrasi yang
berkembang di Amerika menganggap tipping sebagai sikap yang merendahkan para
pekerja dan tidak sesuai. Menurutnya, dengan memberi tip berarti warga Amerika
tidak percaya bahwa tiap orang memiliki kedudukan yang sama. Ketidak sesuaian
kebiasaan yang sudah berlangsung sejak lama dengan masyarakat modern sekarang ini
ternyata memunculkan adanya tentangan dari beberapa kalangan dengan gerakan
yang dikenal sebagai Temperance Movements.
Gerakan yang mengedepankan kesederhanaan dan kedudukan yang egaliter, tidak ada
perbedaan kelas.
Bagaimana di negara lain? Di Jepang
sendiri budaya memberi tip tidak populer, bahkan di bill yang dikeluarkan di
sebutkan untuk tidak melakukan tipping pada pegawai mereka. Alasannya adalah
mereka sudah di beri gaji yang sesuai dari perusahaan, sehingga mereka tidak
lagi perlu mengharapkan tip dari customers.
Mirip dengan apa yang terjadi di Jepang, di Indonesia sendiri tipping dapat
dianggap sebagai bentuk awal mula korupsi. Ini dikemukakan oleh salah satu
petugas kejaksaan negeri yang saya temui ketika Hari Anti Korupsi. Secara
positif tipping dapat di anggap sebagai bentuk rasa terima kasih kita kepada
pihak yang telah membantu kita. Namun perlu di ingat, segala urusan dapat
menjadi mudah ketika uang berbicara. Inilah yang membentuk mental masyarakat
bahwa uang dapat mempercepat urusan yang mereka hadapi. Contoh kecil yang
sering saya temui, ketika anda mengeluarkan uang 10 ribu atau 5 ribu rupiah,
tulisan parkir penuh di pusat perbelanjaan di Surabaya mendadak berubah dan di
pinggirkan. Padahal di seragam petugas parkir tersebut terdapat tulisan No Tipping.
Perusahaan yang menjual jasa
mengedepankan pelayanan terbaik kepada customer, namun pelayanan tersebut
menjadi tidak sepenuh hati ketika karyawan mereka mengharapkan apresiasi dalam
bentuk tip dari customer dari tugas yang sudah seharusnya mereka lakukan.
Contoh besarnya adalah di beberapa pemerintahan yang akhirnya dikenal sebagai
korupsi. Penulis disini sebenarnya tidak terlalu setuju dengan budaya tipping
yang mengharuskan customer memberi tip seperti di Amerika. Namun tidak
menyangkal bahwa pelayanan yang baik dapat pula di apresiasi dengan memberikan
rewards kepada petugas yang melayani kita. Jalan tengah yang saya temukan untuk
isu ini adalah dengan adanya service
charge di tagihan bayar kita ketika kita melakukan transaksi di restoran,
hotel, dan sebagainya. Service charge
itulah yang nantinya diberikan kepada karyawan sebagai bentuk lain tipping yang di tetapkan oleh perusahaan
tempat mereka bekerja. Memberi apresiasi atau reward itu perlu, namun sebaiknya tidak di biasakan karena pada
umumnya mempengaruhi bentuk pelayanan mereka terhadap customers. Tidak lagi sepenuh hati dan mengharapkan return atau belas kasih dari customers.