Hai semuanya,
Here is the place for me to pour all of my feelings :)
I have no one to talk to tonight so that i start writing my first blog in 2017
Happy New Year!
Sudah di hari ke 17 di tahun 2017 ini, dan seminggu lagi akan berusia 25 tahun!
Oh my God! i am growing up fast...
hmmm, banyak yang telah terlewati di usia 24 tahun lalu, sedih, senang, susah, pencapaian, galau, bimbang, dsb.
Puji Tuhan masih dikasi umur hingga 25, meski kurang 6 hari lagi.
I have no words to say, i wish all the best semoga resolusi di tahun ini bisa tercapai.
Selalu di sertai Tuhan, kapanpun dimanapun, sedih maupun senang, tanpa Tuhan i am just nothing and perhaps lost.
Itu aja sih mungkin yang mau di ungkapin.
Marriage? hmm, hanya Tuhan yang tahu kapan dan siapa?
Semoga Tuhan memberikan pasangan yang baik dan tepat waktunya, itu aja :)
belajar dari banyak kegagalan yang terkadang membuat aku takut, tapi dengan Tuhan, i will be fine :)
for sure i will be fine.
God Bless everyone!
xoxo,
Sofi
Life Stories
this blog is about my life stories. Happy, sad, foolish, serious, etc. I am trying to capture every moments in my life with writing it...as purpose of inspiring the others who read it. xoxo Sophie
Selasa, 17 Januari 2017
Selasa, 17 Maret 2015
Jakarta, March 2015
It has been (almost) 1 year since we met...
unbelievable...
I never expect that we will get this far
Started from nowhere, nobody
we even live apart....where you are and where i am
but, everything is connected in the end
now, i feel and experience that world does narrow
i believe that everything meet in purpose
at the right time
like what we are now....
we have been get through the hard and easy times
how i survived living a part from you for 5 months
how sacrificed needed
how we try to fade the distance away
how we try to communicate in the middle our busy day
How we try to combine our total different personality
different insight of life
i just hope now
that those differences will never break us up
but enrich this relationship with many experiences of life
i love you, Capt! :)
xoxo
March 17 2015
Rabu, 28 Januari 2015
Goods and Consumers
Modern Society and Business
In the millenium era where people are more concerns about their planet,
there are several issues facing such as global social challenges, sustainable
development and climate change. Business plays major or may crucial roles in it
especially global social challenges. Business are one of the driven how our
world and society changes, from consumption level until goods purchasing power.
Negatively, business mostly accused as one of the major cause of problems in
the world.
If we talk about business, normal company always concern on economic
performance such as sales and asset growth, diversification and business
development. But now, when sustainable development have been echoed by the
international actors, business not only how it grows its profit but also its
relations with the consumers.Long term relationship and trust between the
product that sold by the companies does needed. DSM’s CEO, Sjibesma said there
are triple bottom line: People, Planet and Profit. People means there should be
long term relationship between business and society even from its product or
company responsibility through human or community development. Through product,
now people want to buy things they feel good about buying. They are more aware
and concerned about the state of the world and they want to be a part of the
change. Some multinational company such as Nestle and Danone has already done
it. Empowering the housewives for example by teaching them to sell Danone
product.
Planet dimensions mean that business take responsibility to keep the mother
earth sustain. An example i can give is about how business responsible for the
deforestation. Progress made over the past few years on decoupling palm oil
production, soy and beef. Increasing of the organic consumption. Ethical
sourcing can be beneficial for business. So, we somebody ask that should
business lead the social agenda, the answer it Not.... but it should work hand
in hand to find win-win ways in a global social challenges.
Rabu, 05 November 2014
Fenomena sehari-hari
Budaya Memberi Tip,
Korupsi atau Apresiasi?
Chriscahyanti Sofi Yustisia
“No
Tipping” tulisan itu sering terlihat di balik seragam petugas parkir ketika
kita memarkir mobil di beberapa pusat perbelanjaan di kota besar. Namun hal
berbeda kita temukan ketika selepas makan di restauran, ada beberapa uang receh
yang sengaja ditinggalkan di meja untuk para pramusaji yang bekerja disana. Ada
pula fenomena tipping lainnya dimana
kita naik taxi, khususnya di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Total
yang kita bayarkan terkadang lebih besar dari angka yang tertera pada argo taxi
tersebut. Bahkan terkadang ada pula supir taxi yang sengaja berbohong untuk
tidak memberi uang kembalian kepada penumpang. Contoh lainnya juga fenomena delivery food di salah satu restauran di
Jakarta Pusat. Pengantar makanan sudah disiapkan kembali dari total pesanan,
namun sungguh mengejutkan karena pengantar makanan tersebut hanya memberi
separuh dari total yang harusnya di berikan kepada pemesan. Yang paling sering
ditemui adalah budaya tipping ketika kita masuk ke hotel dan dibantu oleh
petugas hotel, entah itu bell boy
atau buttler. Perlukah kita memberi
tip kepada mereka?
Budaya tip atau memberi bonus kepada
petugas yang telah melayani kita paling banyak di temui di Amerika Serikat. Itu
merupakan hal yang lumrah di lakukan bahkan mungkin sudah menjadi “budaya”
mereka untuk memberikan tip. Asal mula kebiasaan ini berasal sejak Perang Sipil
di Amerika, dibawa oleh para kaum bangsawan Inggris yang datang. It looks so demeaning and classist. Era
aristokrat dimana seorang pelayan tidak bisa menjadi seorang gentleman, menolak pemberian dari
majikannya. Saat itu kelas masih muncul di sistem sosial masyarakat. Namun
ketika jaman mulai berubah, ketika aristokrasi tidak lagi mendominasi
masyarakat dan beralih ke masyarakat yang egaliter dan demokrasi yang
berkembang, pemberian tip tidak lagi dipandang sebagai bentuk apresiasi, bisa
jadi merendahkan atau bahkan di manfaatkan dan menjadi awal mula korupsi.
Di Amerika Sendiri, terdapat
standarisasi tip yang di terapkan oleh masyarakat, berkisar 10%-15% dari total
bill. Jika dibawah itu bisa dianggap merendahkan mereka. William Scott’s dalam
bukunya The Itching Palm tahun 1916 menyebutkan bahwa di era demokrasi yang
berkembang di Amerika menganggap tipping sebagai sikap yang merendahkan para
pekerja dan tidak sesuai. Menurutnya, dengan memberi tip berarti warga Amerika
tidak percaya bahwa tiap orang memiliki kedudukan yang sama. Ketidak sesuaian
kebiasaan yang sudah berlangsung sejak lama dengan masyarakat modern sekarang ini
ternyata memunculkan adanya tentangan dari beberapa kalangan dengan gerakan
yang dikenal sebagai Temperance Movements.
Gerakan yang mengedepankan kesederhanaan dan kedudukan yang egaliter, tidak ada
perbedaan kelas.
Bagaimana di negara lain? Di Jepang
sendiri budaya memberi tip tidak populer, bahkan di bill yang dikeluarkan di
sebutkan untuk tidak melakukan tipping pada pegawai mereka. Alasannya adalah
mereka sudah di beri gaji yang sesuai dari perusahaan, sehingga mereka tidak
lagi perlu mengharapkan tip dari customers.
Mirip dengan apa yang terjadi di Jepang, di Indonesia sendiri tipping dapat
dianggap sebagai bentuk awal mula korupsi. Ini dikemukakan oleh salah satu
petugas kejaksaan negeri yang saya temui ketika Hari Anti Korupsi. Secara
positif tipping dapat di anggap sebagai bentuk rasa terima kasih kita kepada
pihak yang telah membantu kita. Namun perlu di ingat, segala urusan dapat
menjadi mudah ketika uang berbicara. Inilah yang membentuk mental masyarakat
bahwa uang dapat mempercepat urusan yang mereka hadapi. Contoh kecil yang
sering saya temui, ketika anda mengeluarkan uang 10 ribu atau 5 ribu rupiah,
tulisan parkir penuh di pusat perbelanjaan di Surabaya mendadak berubah dan di
pinggirkan. Padahal di seragam petugas parkir tersebut terdapat tulisan No Tipping.
Perusahaan yang menjual jasa
mengedepankan pelayanan terbaik kepada customer, namun pelayanan tersebut
menjadi tidak sepenuh hati ketika karyawan mereka mengharapkan apresiasi dalam
bentuk tip dari customer dari tugas yang sudah seharusnya mereka lakukan.
Contoh besarnya adalah di beberapa pemerintahan yang akhirnya dikenal sebagai
korupsi. Penulis disini sebenarnya tidak terlalu setuju dengan budaya tipping
yang mengharuskan customer memberi tip seperti di Amerika. Namun tidak
menyangkal bahwa pelayanan yang baik dapat pula di apresiasi dengan memberikan
rewards kepada petugas yang melayani kita. Jalan tengah yang saya temukan untuk
isu ini adalah dengan adanya service
charge di tagihan bayar kita ketika kita melakukan transaksi di restoran,
hotel, dan sebagainya. Service charge
itulah yang nantinya diberikan kepada karyawan sebagai bentuk lain tipping yang di tetapkan oleh perusahaan
tempat mereka bekerja. Memberi apresiasi atau reward itu perlu, namun sebaiknya tidak di biasakan karena pada
umumnya mempengaruhi bentuk pelayanan mereka terhadap customers. Tidak lagi sepenuh hati dan mengharapkan return atau belas kasih dari customers.
Kamis, 25 September 2014
Hope and Dream
Before we talk what hope and dream are. I wanna ask you to think....
1. What can make people survive in life?
2. Have you imagine living in world without hope?
3. What were the parents or adults always asking to the children?
From my opinion, we live in a world of Hope. Hope is one of the abstract reason why people still alive. Could you imagine how hard the life of people who lose their hopes? When you stop hoping.. it is like temporary dying. There are some reasons why people choose to cease hope. The first one, the think there will be no way out to solve their probs, that's why they close any chances that they can not take everything to solve the probs. The fact said that... once you fall... never give up to stand up or even crawling to stand. It's easy to be written than to be done. But...
My personal experiences shows how hard i am stacking the ruin dreams. the key is in our minds.
I used to be very angry to the situation when i failed chasing my dream. I stop going to the church. I was mad. Maybe i need 6 months to trust my self and be confident again.
I learnt from that experience that i should not stop hoping and dreaming.
I try to re arrange my dream again after it. And what the result?
I become more positive... and expose lot of contributive acts to the society.
Life without hope and dream is like living in a apocalypse era.
looking forward.... everything can be our chance if we change our mindset.
Be positive.
Explore more inside of us. I am still learning to explore my self untill now.
there will be something unique that not everyone have it.
We build dream with hope since we were child.
Put our hope at the top it will affect our trust and our confidence.
Good luck everyone!
you are all awesome and you are the inspiration and you will get inspired.
xoxo
Sofi
Rabu, 24 September 2014
What are we going to do after college?
Selepas sekolah, biasanya selepas kuliah para remaja tentunya bakal mulai berpikir untuk mencari kerja. Seperti para remaja pada umumnya...hal ini merupakan hal wajar dan sudah dilakukan turun temurun. Selesai sekolah pasti bekerja. Nah dalam bekerja, tentunya ada beberapa hal yang dipikirkan. Ada yang bekerja untuk mencari uang yang banyak ada pula yang bekerja untuk menyalurkan hobby dan bekerja sesuai dengan passion yang disenangi nya.
Walikota Bandung, Bapak Ridwan Kamil, menyebutkan bahwa bekerja yang menyenangkan adalah hobi yang dibayar. Berarti beliau merupakan salah satu sosok yang mendukung bahwa kita harus bekerja sesuai dengan hobi..apa yang disenangi dan itu bisa disebut dengan passion. Namun bagi beberapa orang passion itu tidak ada... yang menyebutkan bahwa bekerja untuk apa? untuk cari uang... dimana ketika kita nyaman dengan uang yang kita peroleh maka passion akan muncul dengan sendirinya.
Keduanya bukan hal perihal salah dan benar karena pilihan tersebut kembali kepada diri kita sendiri. Beberapa orang menyebutkan bahwa kita tidak harus mengejar passion kita, melainkan lebih kepada cultivate! temukan passion dimana km bekerja.
Beberapa studi memang menyebutkan bahwa tidak ada kaitan antara passion dengan tempat kita bekerja atau belajar. Sehingga terminologi 'follow your passion' is sort of bullshit.
Steve Jobs, pendiri Apple.inc menyebutkan bahwa " You’ve got to find what you love, don’t settle." Banyak orang menginterpretasikan hal tersebut berbeda-beda. Cal Newport, penulis buku, So Good They Can't Ignore You, ketika kita menginterpretasikan quote dari Jobs diasumsikan bahwa setiap orang telah memiliki pre-eksisting passion yang akan dilanjutkan dalam dunia bekerja. Faktanya, ia mengatakan hanya segelintir orang yang telah menemukan passionnya. Kebanyakan orang tidak tahu dimana passion mereka sehingga quote tersebut tidak dapat memvalidasi bahwa orang tersebut akan enjoy dalam bekerja.
Sekedar bercerita tentang pengalaman orang terdekat saya. Sekarang ia bekerja di bidang yang memang ia cintai sejak kecil. He was nurtured by that field from childhood. Dan ketika ia bekerja, ia memiliki kesenangan tersendiri dalam bekerja. Ia bakal kangen ketika ia harus day off dan sangat ingin kembali ke rutinitas yang ia sukai. Bukan berarti ia tidak mengalami kejenuhan, tetapi ia melakukan hal tersebut dengan senang hati. Hal ini menurut saya yang cukup meringankan dibandingkan kita bekerja dengan tidak senang hati. Jenuh itu wajar... karena ketika rutinitas itu berlangsung bertahun-tahun, maka perlu modifikasi kecil atau refreshing untuk membuatnya menjadi hal yang sangat ingin kita lakukan kembali.
Berbeda dengan apa yang saya rasakan. Passion saya adalah bertemu orang baru, melakukan negosiasi dengan orang tersebut, melakukan lobbying, tidak bisa diam di satu tempat dan harus berkelana layaknya wanderlust. Saya ingin menjadi orang yang menginspirasi orang lain, bukan untuk di cap baik... tapi ada rasa kesenangan tersendiri ketika kita bisa membantu orang tersebut. Itulah passion saya... namun hal yang saya sebutkan tersebut ternyata tidak cukup membuat saya nyaman di tempat kerja sekarang ini. Ya, saya bertemu dengan orang baru. Namun lebih banyak kegiatan administrasi yang saya lakukan didalam kantor dibandingkan keluar mencari prospek kerja. ketika beberapa bulan saya menjalani hal tersebut... saya meraca itu sudah cukup saya dapat. saya ingin sesuatu yang lebih dimana ketika saya bertemu orang lain, saya bisa bicara dan berdiskusi dengan mereka. Hasilnya saya bisa mendapatkan ilmu baru. Dari sinilah saya menemukan bahwa saya tidak cocok bekerja on the desk, dan lebih merupakan orang lapangan.
Passion memang diperlukan dalam bekerja. Passion bukanlah suatu hal yang susah untuk di discover. Hobby kalian adalah passion. Passion adalah hal-hal kecil yang bisa membuat kalian nyaman melakukannya. bekerja tanpa passion menurut saya bagai sayur tanpa garam. Ibarat anjing...passion adalah hal yang men-drive saya untuk terus maju dan improvisasi diri dalam bekerja. Ada yang melakukannya karena iming-iming uang, ada pula karena alasan lain.
Saya bekerja dengan target. Target yang jika dicapai saya bisa mendapatkan kompensasi yang besar. Kompensasi tersebut tidak bisa memaksimalkan saya bekerja. Namun, ketika saya bekerja saya tahu hal tersebut bisa baik untuk orang lain dan diri saya...saya bisa memaksimalkannya.
Diantara benar atau salah mengenai anggapan passion dan pekerjaan. Menurut saya, keduanya benar dan itu kembali bergantung pada prioritas tiap individu. Mungkin saya termasuk kaum idealis yang berusaha mengejar apa yang saya sukai...dan itu tidak salah. begitu juga sebaliknya. Passion tersebut berkaitan dengan kenyamanan. You only live once! so live to the fullest! jangan sampai hal-hal duniawi tersebut membebani kita, baiknya kita bisa menyelaraskannya.
xoxo
Sofi
Rabu, 17 September 2014
Jakarta and Me
Jakarta and Me
I was thinking that i would never want work at Jakarta
A city with lot of commotion
Everywhere
Individualist society
High Criminality
Something that far away with something i do really want in life
But...
everything has changed
I lived in Jakarta for 1,5 months with two friends
and what the result?
i was addicted to extend my stay there
i felt challenged there!
I wanna work at Jakarta right now...
even it's not 100% my will
there is side factor also...which is my boyfriend there
I think i can grow to be someone better and mature
if i live there....
something that far away from my comfort zone...
i just hope. i can work there.
but something big thing following those things are...
i wish i could go traveling again this year
scholarship for my master degree
travel with purpose
not just travel....
bring mission
Sofi...
Blitar, September 17 2014
*thank you blog! you just relieve my blue mood immedietaly.
Jesus also...
i do love You!
A city with lot of commotion
Everywhere
Individualist society
High Criminality
Something that far away with something i do really want in life
But...
everything has changed
I lived in Jakarta for 1,5 months with two friends
and what the result?
i was addicted to extend my stay there
i felt challenged there!
I wanna work at Jakarta right now...
even it's not 100% my will
there is side factor also...which is my boyfriend there
I think i can grow to be someone better and mature
if i live there....
something that far away from my comfort zone...
i just hope. i can work there.
but something big thing following those things are...
i wish i could go traveling again this year
scholarship for my master degree
travel with purpose
not just travel....
bring mission
Sofi...
Blitar, September 17 2014
*thank you blog! you just relieve my blue mood immedietaly.
Jesus also...
i do love You!
Langganan:
Postingan (Atom)