Rabu, 05 November 2014

Fenomena sehari-hari

Budaya Memberi Tip, Korupsi atau Apresiasi?

Chriscahyanti Sofi Yustisia

No Tipping” tulisan itu sering terlihat di balik seragam petugas parkir ketika kita memarkir mobil di beberapa pusat perbelanjaan di kota besar. Namun hal berbeda kita temukan ketika selepas makan di restauran, ada beberapa uang receh yang sengaja ditinggalkan di meja untuk para pramusaji yang bekerja disana. Ada pula fenomena tipping lainnya dimana kita naik taxi, khususnya di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Total yang kita bayarkan terkadang lebih besar dari angka yang tertera pada argo taxi tersebut. Bahkan terkadang ada pula supir taxi yang sengaja berbohong untuk tidak memberi uang kembalian kepada penumpang. Contoh lainnya juga fenomena delivery food di salah satu restauran di Jakarta Pusat. Pengantar makanan sudah disiapkan kembali dari total pesanan, namun sungguh mengejutkan karena pengantar makanan tersebut hanya memberi separuh dari total yang harusnya di berikan kepada pemesan. Yang paling sering ditemui adalah budaya tipping ketika kita masuk ke hotel dan dibantu oleh petugas hotel, entah itu bell boy atau buttler. Perlukah kita memberi tip kepada mereka?
Budaya tip atau memberi bonus kepada petugas yang telah melayani kita paling banyak di temui di Amerika Serikat. Itu merupakan hal yang lumrah di lakukan bahkan mungkin sudah menjadi “budaya” mereka untuk memberikan tip. Asal mula kebiasaan ini berasal sejak Perang Sipil di Amerika, dibawa oleh para kaum bangsawan Inggris yang datang. It looks so demeaning and classist. Era aristokrat dimana seorang pelayan tidak bisa menjadi seorang gentleman, menolak pemberian dari majikannya. Saat itu kelas masih muncul di sistem sosial masyarakat. Namun ketika jaman mulai berubah, ketika aristokrasi tidak lagi mendominasi masyarakat dan beralih ke masyarakat yang egaliter dan demokrasi yang berkembang, pemberian tip tidak lagi dipandang sebagai bentuk apresiasi, bisa jadi merendahkan atau bahkan di manfaatkan dan menjadi awal mula korupsi.
Di Amerika Sendiri, terdapat standarisasi tip yang di terapkan oleh masyarakat, berkisar 10%-15% dari total bill. Jika dibawah itu bisa dianggap merendahkan mereka. William Scott’s dalam bukunya The Itching Palm tahun 1916 menyebutkan bahwa di era demokrasi yang berkembang di Amerika menganggap tipping sebagai sikap yang merendahkan para pekerja dan tidak sesuai. Menurutnya, dengan memberi tip berarti warga Amerika tidak percaya bahwa tiap orang memiliki kedudukan yang sama. Ketidak sesuaian kebiasaan yang sudah berlangsung sejak lama dengan masyarakat modern sekarang ini ternyata memunculkan adanya tentangan dari beberapa kalangan dengan gerakan yang dikenal sebagai Temperance Movements. Gerakan yang mengedepankan kesederhanaan dan kedudukan yang egaliter, tidak ada perbedaan kelas.
Bagaimana di negara lain? Di Jepang sendiri budaya memberi tip tidak populer, bahkan di bill yang dikeluarkan di sebutkan untuk tidak melakukan tipping pada pegawai mereka. Alasannya adalah mereka sudah di beri gaji yang sesuai dari perusahaan, sehingga mereka tidak lagi perlu mengharapkan tip dari customers. Mirip dengan apa yang terjadi di Jepang, di Indonesia sendiri tipping dapat dianggap sebagai bentuk awal mula korupsi. Ini dikemukakan oleh salah satu petugas kejaksaan negeri yang saya temui ketika Hari Anti Korupsi. Secara positif tipping dapat di anggap sebagai bentuk rasa terima kasih kita kepada pihak yang telah membantu kita. Namun perlu di ingat, segala urusan dapat menjadi mudah ketika uang berbicara. Inilah yang membentuk mental masyarakat bahwa uang dapat mempercepat urusan yang mereka hadapi. Contoh kecil yang sering saya temui, ketika anda mengeluarkan uang 10 ribu atau 5 ribu rupiah, tulisan parkir penuh di pusat perbelanjaan di Surabaya mendadak berubah dan di pinggirkan. Padahal di seragam petugas parkir tersebut terdapat tulisan No Tipping.

Perusahaan yang menjual jasa mengedepankan pelayanan terbaik kepada customer, namun pelayanan tersebut menjadi tidak sepenuh hati ketika karyawan mereka mengharapkan apresiasi dalam bentuk tip dari customer dari tugas yang sudah seharusnya mereka lakukan. Contoh besarnya adalah di beberapa pemerintahan yang akhirnya dikenal sebagai korupsi. Penulis disini sebenarnya tidak terlalu setuju dengan budaya tipping yang mengharuskan customer memberi tip seperti di Amerika. Namun tidak menyangkal bahwa pelayanan yang baik dapat pula di apresiasi dengan memberikan rewards kepada petugas yang melayani kita. Jalan tengah yang saya temukan untuk isu ini adalah dengan adanya service charge di tagihan bayar kita ketika kita melakukan transaksi di restoran, hotel, dan sebagainya. Service charge itulah yang nantinya diberikan kepada karyawan sebagai bentuk lain tipping yang di tetapkan oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Memberi apresiasi atau reward itu perlu, namun sebaiknya tidak di biasakan karena pada umumnya mempengaruhi bentuk pelayanan mereka terhadap customers. Tidak lagi sepenuh hati dan mengharapkan return atau belas kasih dari customers.

Kamis, 25 September 2014

Hope and Dream

Before we talk what hope and dream are. I wanna ask you to think....

1. What can make people survive in life?
2. Have you imagine living in world without hope?
3. What were the parents or adults always asking to the children?

From my opinion, we live in a world of Hope. Hope is one of the abstract reason why people still alive. Could you imagine how hard the life of people who lose their hopes? When you stop hoping.. it is like temporary dying. There are some reasons why people choose to cease hope. The first one, the think there will be no way out to solve their probs, that's why they close any chances that they can not take everything to solve the probs. The fact said that... once you fall... never give up to stand up or even crawling to stand. It's easy to be written than to be done. But...

My personal experiences shows how hard i am stacking the ruin dreams. the key is in our minds.
I used to be very angry to the situation when i failed chasing my dream. I stop going to the church. I was mad. Maybe i need 6 months to trust my self and be confident again.

I learnt from that experience that i should not stop hoping and dreaming.
I try to re arrange my dream again after it. And what the result?
I become more positive... and expose lot of contributive acts to the society.

Life without hope and dream is like living in a apocalypse era.
looking forward.... everything can be our chance if we change our mindset.
Be positive.
Explore more inside of us. I am still learning to explore my self untill now.
there will be something unique that not everyone have it.

We build dream with hope since we were child.
Put our hope at the top it will affect our trust and our confidence.
Good luck everyone!
you are all awesome and you are the inspiration and you will get inspired.


xoxo
Sofi

Rabu, 24 September 2014

What are we going to do after college?


Selepas sekolah, biasanya selepas kuliah para remaja tentunya bakal mulai berpikir untuk mencari kerja. Seperti para remaja pada umumnya...hal ini merupakan hal wajar dan sudah dilakukan turun temurun. Selesai sekolah pasti bekerja. Nah dalam bekerja, tentunya ada beberapa hal yang dipikirkan. Ada yang bekerja untuk mencari uang yang banyak ada pula yang bekerja untuk menyalurkan hobby dan bekerja sesuai dengan passion yang disenangi nya.

Walikota Bandung, Bapak Ridwan Kamil, menyebutkan bahwa bekerja yang menyenangkan adalah hobi yang dibayar. Berarti beliau merupakan salah satu sosok yang mendukung bahwa kita harus bekerja sesuai dengan hobi..apa yang disenangi dan itu bisa disebut dengan passion. Namun bagi beberapa orang passion itu tidak ada... yang menyebutkan bahwa bekerja untuk apa? untuk cari uang... dimana ketika kita nyaman dengan uang yang kita peroleh maka passion akan muncul dengan sendirinya.

Keduanya bukan hal perihal salah dan benar karena pilihan tersebut kembali kepada diri kita sendiri. Beberapa orang menyebutkan bahwa kita tidak harus mengejar passion kita, melainkan lebih kepada cultivate! temukan passion dimana km bekerja.
Beberapa studi memang menyebutkan bahwa tidak ada kaitan antara passion dengan tempat kita bekerja atau belajar. Sehingga terminologi 'follow your passion' is sort of bullshit.

Steve Jobs, pendiri Apple.inc menyebutkan bahwa " You’ve got to find what you love, don’t settle."  Banyak orang menginterpretasikan hal tersebut berbeda-beda. Cal Newport, penulis buku, So Good They Can't Ignore You, ketika kita menginterpretasikan quote dari Jobs diasumsikan bahwa setiap orang telah memiliki pre-eksisting passion yang akan dilanjutkan dalam dunia bekerja. Faktanya, ia mengatakan hanya segelintir orang yang telah menemukan passionnya. Kebanyakan orang tidak tahu dimana passion mereka sehingga quote tersebut tidak dapat memvalidasi bahwa orang tersebut akan enjoy dalam bekerja.

Sekedar bercerita tentang pengalaman orang terdekat saya. Sekarang ia bekerja di bidang yang memang ia cintai sejak kecil. He was nurtured by that field from childhood. Dan ketika ia bekerja, ia memiliki kesenangan tersendiri dalam bekerja. Ia bakal kangen ketika ia harus day off dan sangat ingin kembali ke rutinitas yang ia sukai. Bukan berarti ia tidak mengalami kejenuhan, tetapi ia melakukan hal tersebut dengan senang hati. Hal ini menurut saya yang cukup meringankan dibandingkan kita bekerja dengan tidak senang hati. Jenuh itu wajar... karena ketika rutinitas itu berlangsung bertahun-tahun, maka perlu modifikasi kecil atau refreshing untuk membuatnya menjadi hal yang sangat ingin kita lakukan kembali.

Berbeda dengan apa yang saya rasakan. Passion saya adalah bertemu orang baru, melakukan negosiasi dengan orang tersebut, melakukan lobbying, tidak bisa diam di satu tempat dan harus berkelana layaknya wanderlust. Saya ingin menjadi orang yang menginspirasi orang lain, bukan untuk di cap baik... tapi ada rasa kesenangan tersendiri ketika kita bisa membantu orang tersebut. Itulah passion saya... namun hal yang saya sebutkan tersebut ternyata tidak cukup membuat saya nyaman di tempat kerja sekarang ini. Ya, saya bertemu dengan orang baru. Namun lebih banyak kegiatan administrasi yang saya lakukan didalam kantor dibandingkan keluar mencari prospek kerja. ketika beberapa bulan saya menjalani hal tersebut... saya meraca itu sudah cukup saya dapat. saya ingin sesuatu yang lebih dimana ketika saya bertemu orang lain, saya bisa bicara dan berdiskusi dengan mereka. Hasilnya saya bisa mendapatkan ilmu baru. Dari sinilah saya menemukan bahwa saya tidak cocok bekerja on the desk, dan lebih merupakan orang lapangan.

Passion memang diperlukan dalam bekerja. Passion bukanlah suatu hal yang susah untuk di discover. Hobby kalian adalah passion. Passion adalah hal-hal kecil yang bisa membuat kalian nyaman melakukannya. bekerja tanpa passion menurut saya bagai sayur tanpa garam. Ibarat anjing...passion adalah hal yang men-drive saya untuk terus maju dan improvisasi diri dalam bekerja. Ada yang melakukannya karena iming-iming uang, ada pula karena alasan lain.

Saya bekerja dengan target. Target yang jika dicapai saya bisa mendapatkan kompensasi yang besar. Kompensasi tersebut tidak bisa memaksimalkan saya bekerja. Namun, ketika saya bekerja saya tahu hal tersebut bisa baik untuk orang lain dan diri saya...saya bisa memaksimalkannya.

Diantara benar atau salah mengenai anggapan passion dan pekerjaan. Menurut saya, keduanya benar dan itu kembali bergantung pada prioritas tiap individu. Mungkin saya termasuk kaum idealis yang berusaha mengejar apa yang saya sukai...dan itu tidak salah. begitu juga sebaliknya. Passion tersebut berkaitan dengan kenyamanan. You only live once! so live to the fullest! jangan sampai hal-hal duniawi tersebut membebani kita, baiknya kita bisa menyelaraskannya.

xoxo
Sofi 

Rabu, 17 September 2014

Jakarta and Me

Jakarta and Me

I was thinking that i would never want work at Jakarta
A city with lot of commotion
Everywhere
Individualist society
High Criminality

Something that far away with something i do really want in life
But...
everything has changed

I lived in Jakarta for 1,5 months with two friends
and what the result?
i was addicted to extend my stay there
i felt challenged there!

I wanna work at Jakarta right now...
even it's not 100% my will
there is side factor also...which is my boyfriend there
I think i can grow to be someone better and mature
if i live there....

something that far away from my comfort zone...

i just hope. i can work there.
but something big thing following those things are...

i wish i could go traveling again this year
scholarship for my master degree
travel with purpose
not just travel....

bring mission


Sofi...
Blitar, September 17 2014


*thank you blog! you just relieve my blue mood immedietaly.
Jesus also...
i do love You!

Life Meaning...between Passion and Money

Do you live for money?
What are chasing in life?
Sufficiencies?

I am looking for something that can push me to be better. Something that i can be proud of. Something that i can share and inspire the others.

Life is not just about money. You have high salary and much money. But can you buy the experiences? Can you buy memories?

I know it sounds of idealist to talk about that. But...that what i feel.

Target is made to be achieved. And everyone has their own definitions of their targets. It can be money, fully life, travel around the world, anything.

My target isn't about money. I do need money. But....if i could go abroad...that's not because i make money. But it's more from something i have naturally.

Now, i am in the middle of people who craving for money. They can kill each other for that money. Hot money that make everyone crazy about it.

I dunno how to describe what i feel right now. Maybe...i still figure out what i do really want in life.

I just don't wanna be slaved by money, by something that make me depends on it. I wanna live in my passion. Do it with passion or not at all.

Sofi
Blitar, September 17 2014

Jumat, 27 Juni 2014

Going to the Distance

Going to the Distance

Selamat pagi Jakarta...

Cuaca di Jakarta beda banget sama di Surabaya yang super panas. Meskipun disini panas, tapi matahari pagi ga seterik di Surabaya. I try to love Jakarta and enjoy living here. Padahal sebelumnya ga bakal mau kalau disuruh kerja di Jakarta.Waktu di tanyain interview program pertukaran tahun lalu, sampai selesai program pertukaran dari Kanada aku aja jawab, lebih baik kerja di Surabaya dibanding Jakarta. Tapi ternyata.....it has changed now i am at Jakarta. Terkadang jangan terlalu membenci atau tidak menyukai sesuatu, karena itu memungkinkan terjadi di kemudian hari. Satu hal lagi yang pernah aku ga mau lakuin ketika aku masih SMA... yaitu membina hubungan jarak jauh. Tapi sekarang nyatanya, i do enjoy LDR dan itu menjadi suatu hal yang anti-mainstream ketika semua pasangan menginginkan dekat dengan pasangannya aku menganggap kalo jarak jauh justru menjadi assessment pasangan tersebut.

Agak sedikit melebar sih, hehehe tapi kemaren di kantor sempet ikutan tes MBTI, dan hasil yang keluar 90% pas banget sama kepribadian aku. Kebetulan aku dapet ESTP, I am totally easy going, down to earth, flexible, loving social activity, gregarious, realistic, objective, thinking, perceiving and so on. Dengan kepribadian yang spark up tentunya aku ga suka sesuatu hal yang flat dan rutin. Ketemu orang baru dan bersosialiasi merupakn salah satu hobi aku, termasuk menjadi frequent flyer. Menjadi orang yang nomaden, pindah dari satu tempat ke tempat lain, menginjakkan kaki di tempat baru, mengeksplorasi diri dan dunia ini.

Melihat kepribadian aku yang seperti itu, tentu memungkinkan aku dan pasangan untuk melakukan hubungan jarak jauh. Lagi-lagi LDR, hal yang sangat pantang atau mungkin haram buat beberapa pasangan untuk dijalani. Sapa juga yang mau pacaran sama hape? sapa yang mau pacaran sama skype? pacaran sama suatu hal yang virtual? Sama-sama sibuk kan? capek pastinya.. ada orang yang lebih milih untuk mundur dan memilih untuk membina hubungan sama orang yang deket sama dia. Pilihan itu kembali lagi ke tiap individu masing-masing.

Aku pribadi...LDR itu merupakan konsekuensi yang berani kita ambil ketika hati kita sudah menentukan bahwa DIA yang tepat untuk kita. Disini kesetiaan dan komitmen menjadi kunci. Ketika kita melihat LDR sebagai konsekuensi yang diambil, maka kita berani mengambil segala resiko. Susah memang karena kita setiap hari berinteraksi dengan orang lain, pasti ada peluang untuk suka dengan orang didekat kita. Tetapi, kedewasaan menjadi kunci. Berteman boleh, tapi hanya sebatas teman. Tidak lebih. Dalam hubungan ga baik juga kalo kehidupan sosial pasangan kita terbatasi, tetapi bagaimana kita bisa menjadikan pasangan kita menjadi orang yang terbaik buat kita.

Jarak yang menjadi penghalang harusnya tidak dihindari, tetapi ditaklukan untuk mengetahui seberapa serius pasangan kalian :). Jangan takut dengan hubungan jarak jauh. Semakin km berani mengambil resiko tersebut, km bakal tau seberapa serius dan komitmen pasangan km ke km. Buat hal tersebut menjadi beda. Ketika km LDR dan tiba waktunya buat kalian untuk ketemu, rasanya tentu berbeda dengan hubungan pacaran biasanya. Momen pertemuan menjadi hal yang sangat amat dinantikan dan dibuat seindah mungkin. Ketika km berhasil melalui hubungan jarak jauh tersebut, maka.....kedewasaan hubungan kalian merupakan poin plus yang ga dimiliki orang-orang pacaran lainnya.


xoxo
Sophie

cek link dibawah ini :)
keren!
http://www.youtube.com/watch?v=CRMhZAWqKCk